Manusia dan Media

      Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua sosok yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan rekayasa dan ide-ide.
      Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi.
      Bagi seorang muslim, dia harus sadar bahwa dasar-dasar filosofis pengembangan ilmu dan teknologi telah terjawab dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang turun 1400 tahun yang lalu, sehingga dalam setiap perubahan zaman seperti apapun dia tidak pernah kehilangan pijakan dasar untuk menentukan sikap, termasuk ledakan perkembangan teknologi seperti hari ini. Mirisnya penggunaan media sosial sekarang ini banyak yang menyimpang dan digunakan untuk menebar fitnah justru tidak akan membawa manfaat. Banyak pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan keburukan orang lain sebagai modal awal menjatuhkan rivalnya untuk mendapatkan kekuasaan dan untuk keuntungan pribadi atau pun kelompoknya. Terdapat ayat yang menjelaskan mengenai hal ini :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Hujurat ayat 12)
   Jika informasi yang disebar luaskan di media sosial termasuk atau pun terindikasi sebagai fitnah belaka, maka anda yang ikut serta membuat atau pun menyebarkan bisa dikategorikan sebagai orang yang keji sobat. Dalam ayat Al – Qur’ an dijelaskan bahwasannya :
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al – Baqarah : 191)
      Berdasarkan hasil penelitian dari al-Qur’an dan as-sunnah, maka para ulama membuat kaidah-kaidah ushul fikih dengan tujuan agar mampu memberikan jawaban yang tidak tertera didalam al-qur’an, as-sunnah maupun ijma’. Dalam hal ini para ulama memiliki kaidah yaitu:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
      “Hukum asal segala sesuatu itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
      “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29)
Imam al-Qurtubi mengatakan dalam kitabnya, “Maksud dari خلق لكم yaitu Allah ta’ala yang memberikan seluruh apa yang ada di bumi. Ayat ini juga dijadikan dalil oleh para ulama yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang mendatangkan manfaat itu diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang melarangnya.
      Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
      “Katakanlah: “siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?” katakanlah: “semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) dihari kiamat.” Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. al-A’raf: 32)
      Imam ath-Thabari menjelaskan tentang ayat ini bahwa dalam suatu hadits dikisahkan ada suatu kaum yang mereka mengharamkan seekor kambing untuk diambil susu, daging, dan harganya. Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengingkari siapa saja yang mengharamkan makanan, minuman, pakaian dan semacamnya, maka hokum asal segala sesuatu adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang menharamkannya. Makan bangkai menjadi haram, karena dilarang oleh Allah dan rasul-Nya. Begitupula pakaian sutra bagi laki-laki diharamkan karena ada dalil yang menunjukkan demikian.
      Dalam menggunakan media sosial tidak cukup hanya dengan ilmu saja, tetapi harus dibekali dengan iman dan takwa. Media sosial ibarat dua mata pedang, ketika seseorang mampu menggunakannya dalam hal yang bermanfaat, maka kebaikanpun akan menyertainya. Tetapi sebaliknya, jika seseorang tidak mampu menggunakan dalam hal yang bermanfaaat justru menambah kerusakan, maka keburukanpun akan menyertainya.
      Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa boleh saja menggunakan media social asalkan tidak melanggar syariat Islam dan proporsional. Hendaknya seorang muslim menggunakan media social sebagai sarana dakwah dan hal-hal positi lainnya, agar waktu yang dimilikinya tidak terbuang sia-sia dijejaring social
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan:
      “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat, berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.”

Etika Bermedia Sosial

      Etika seorang muslim dalam menggunakan media sosial nyaris sama dengan etika di kehidupan nyata; yaitu agar seseorang berakhlak baik dengan cara memberi, menerima, dan membagikan hal-hal yang baik kepada sesama dengan tujuan menjadi hamba Allah yang bertakwa.
      Dibawah ini adalah dhawabit/batasan-batasan yang ditulis oleh para ulama terkait media sosial: 
Pertamatidak meninggalkan sesuatu yang telah diwajibkan oleh syariat.
Kedua, tidak terjerumus pada hal-hal yang diharamkan. Yaitu dengan melazimi segala sesuatu yang telah disyariatkan agar tidak terjerumus pada dosa ghibah, namimah, membuka aib saudaranya dll.
Ketiga, me-manage waktu, agar tidak terbuang sia-sia dengan hal yang tidak bermanfaat.
Keempat, mematuhi perundang-undangan tentang teknologi.
Kelima, setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
Melakukan ghibah, fitnah, namimah dan penyebaran permusuhan, melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
      Menyebarkan hoax serta informasi dusta meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i. Memproduksi, menyebarkan dan atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat. Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelakan orang lain atau kelompok kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan syar’i.
      Memproduksi dan atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, dan membangun opini dengan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khlayak. Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat.
      Dengan adanya dhawabit yang diberikan oleh para ulama diatas hendaknya seorang muslim lebih waspada dalam menggunakan media sosial, agar tidak terjerumus pada kemaksiatan yang menimbulkan dosa. Sehingga setiap yang dikerjakan akan mendapat manfaat dan menambah pahala bagi dirinya.

      Islam bukan agama yang menutup diri dari kemajuan teknologi, akan tetapi Islam telah memberi batasan-batasan dalam segala hal, salah satunya dalam masalah teknologi agar seorang muslim tidak keluar dari rambu-rambu yang telah ditetapka. Batasan tersebut telah disimpulkan dalam makna kemaslahatan untuk umat manusia itu sendiri. Segala sesuatu jika itu membahayakan manusia baik kesehatan, akhlaq atau keimanannya maka harus segera dihindari.
      Dalam bermuamalah dengan sesama di dunia nyata maupun di dunia maya, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketaqwaan, mu’asyarah bil ma’rufukhuwah Islamiyyah dan saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Seorang muslim juga harus memperhatikan akhlaqnya baik dikehidupan nyata maupun di dunia maya, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah Ta’ala dan rasul-Nya, dengan selalu cermat dari perkara-perkara yang telah dilarang oleh syariat. Wallahu a’lam bisshawab.


Referensi:
Rizal Amirudin. 2019. Media Sosial dalam Perspektif Islamhttps://www.annursolo.com/
Redaksi Dalamislam. https://dalamislam.com/

Postingan populer dari blog ini

Manusia Makhluk Moral

Tugas 6: Pola Hubungan Vertikal Makhluk-Khalik

Manusia Makhluk Budaya